Mambantai dan Makan Daging Empat Kali Setahun

Huru-hara mahalnya daging sapi belakangan ini mengingatkan saya pada masa tiga puluhan tahun lalu, di sebuah dusun di punggung bukit barisan, Sumatera.  Saya lahir dan tumbuh disana hingga masa sekolah menengah.

Dusun itu terletak di ketinggian dan berhawa dingin, dikelilingi bukit dan gunung.  Sungai-sungai kecilnya mengalirkan air sejuk dan jernih.  Ibu kota kabupaten tiga puluh lima kilometer jaraknya.  Jarak yang tidak terlalu jauh itu harus ditempuh selama dua jam karena kondisi jalan yang mendaki, menurun, berkelok dan berlubang.  Dimusim penghujan, perjalanan bisa lebih lama lagi.  Namun, medan berat itu diimbangi dengan pesona alam ciptaan Allah disepanjang jalan.  Hijaunya sawah ladang dan bukit serta indah dan tenangnya Danau Kerinci.  Apabila hari cerah, Gunung Kerinci pun tampak berdiri gagah menjaga.

Satu lagi, setiap bus yang melayani trayek dusun kami dan ibu kota kabupaten selalu berhenti di sebuah rumah makan ditepi Danau Kerinci.  Tak terkira sedapnya, menyantap nasi dengan lauk gulai ikan yang menjadi menu andalan rumah makan itu, sembari memandang ketenangan danau kerinci, tempat dimana ikan dipiring kami sebelumnya hidup.

Tiga puluhan tahun lalu, makan daging bagi kami adalah kemewahan.  Dalam setahun, paling banyak empat kali kami merasakan nikmatnya daging.  Menjelang bulan puasa Ramadhan, hari raya Idul Fitri, hari raya haji dan Kenduri Sko.  Kenduri sko adalah kenduri adat selepas panen padi, sebagai ekspresi rasa syukur atas limpahan rezeki dari Allah SWT.  Kenduri ini bisa satu hari saja, tiga hari atau bahkan satu minggu lamanya, tergantung kondisi ekonomi penduduk dusun ketika itu.

Pada empat kesempatan membahagiakan itu, kami lebih sering makan daging kerbau dari pada sapi.  Penduduk dusun kami dan dusun-dusun sekitarnya lebih banyak berternak kerbau dari pada sapi.  Barangkali karena memelihara kerbau lebih mudah.  Kerbaupun sangat tangguh membajak sawah dan menarik pedati.  Tekstur daging kerbau lebih padat and liat dibanding daging sapi, selebihnya tak ada bedanya.

Yang menarik adalah daging itu tidak kami dapatkan dari membeli di pasar.  Sehari atau dua hari sebelum empat hari istimewa itu, dusun kami akan memotong dua atau tiga ekor kerbau.  Semuanya dilakukan secara bergotong royong.  Pada pagi yang telah ditentukan, laki-laki dewasa dan anak-anak muda datang ke tanah lapang membawa peralatan masing-masing.  Biasanya, kerbau yang akan disembelih telah ditambatkan di tanah lapang itu, menanti takdir.  Anak-anak juga biasanya telah berkerumun disitu.  Tradisi ini, dalam bahasa lokal, disebut 'mambantai'.

Bagi kami anak-anak, hari itu istimewa bukan hanya karena sebentar lagi kami akan menikmati hidangan mewah daging kerbau.  Ia menjadi lebih spesial karena hari itu kami akan menyaksikan prosesi penyembelihan hewan malang itu.  Saat penjagal menyayat leher kerbau dengan pisau besarnya adalah detik-detik paling sensasional dan menegangkan, puncak hiburan paling tinggi pada masa itu.  Sebagian pembaca mungkin menilai bahwa pertunjukan itu sangat tidak mendidik, mengajarkan sadisme dan kekerasan kepada anak.  Tetapi tenanglah, kami semua tumbuh normal dan tidak ada yang menjadi pembunuh, kecuali yang dipercaya menjadi tukang jagal menggantikan bapaknya dihari penjagalan dusun kami.                  

Prosesi penyembelihan ini sungguh pertunjukan yang sangat menarik, terutama ketika Kepala Dusun memerintahkan untuk segera bekerja.  Beberapa pria berbadan tegap bergerak mendekati kerbau yang ditambat.  Mereka mulai memainkan tali temali dibawah badan hewan itu dan menjerat keempat kakinya.  Setelah semua kaki terjerat, setiap ujung tali akan dipegang oleh setidaknya dua orang dan mereka bersiap untuk menarik tali-tali itu kearah tertentu untuk merubuhkan raksasa hitam itu. Seorang dari mereka memberi aba-aba agar para pemegang tali itu menyentak pada saat bersamaan.  Begitu sang kerbau rubuh, para pria itu segera mengerumuninya untuk melumpuhkannya.  Para pemegang tali akan menyatukan keempat kaki dan mengikatnya erat, lalu beberapa orang akan menahan kaki itu agar tidak bergerak.  Ada yang menahan tubuh hewan besar itu dengan berat badan mereka.  Yang lain menaklukkan kepala kerbau dengan tanduk panjang melengkung itu.  Tanduk-tanduk itu akan dihunjamkan ketanah dan ditahan oleh laki-laki bertenaga kuat, sehingga leher hewan itu menghadap langit.  Ada pula yang mengendalikan ekor yang bergerak liar ditengah kepanikan hewan malang itu.

Setelah kerbau itu dikuasai sepenuhnya, pertunjukan akan segera menuju klimaks.  Inilah saat yang paling ditunggu-tunggu oleh anak-anak.  Mereka segera berlari mengerumuni kerbau yang tak berdaya itu.  Anak-anak yang lebih kecil menonton dari pangkuan bapaknya.  Tukang jagal mendekat dengan menghunus pisau besarnya.  Ia ditemani oleh seorang yang memegang seikat besar rumput belukar dan kemudian meletakkannya menggantung sekitar dua puluh sentimeter diatas leher kerbau.  Tukang jagal menempelkan pisau besarnya dileher kerbau, mulutnya komat-kamit membaca doa.  Dan sluurpp...Darah yang memancar tertahan oleh seikat belukar yang dipegang oleh asisten tukang jagal.  Setelah itu tepuk tangan anak-anak membahana, puas atas pertunjukan yang baru saja berlalu.

Sesungguhnya yang membuat prosesi ini demikian meriahnya adalah karena para pria dewasa yang terlibat merupakan sekumpulan amatiran.  Segala upaya mereka sejak mendekati sang kerbau, merubuhkan hingga melumpuhkannya adalah pergulatan dan perjuangan.  Tidak jarang proses itu berlangsung cukup lama.  Itu yang membuatnya seperti adegan pertempuran antara kebaikan melawan angkara di film-film layar tancap, paling tidak dari sudut pandang anak-anak.

Setelah semua kerbau dibantai, para pria dusun itu memulai kegiatan menguliti dan memotong-motong bagian tubuh hewan-hewan itu.  Daging-daging itu dibagi menjadi dua bagian.  Bagian pertama selanjutnya akan dibagi rata keseluruh rumah tangga di dusun kami.  Setiap rumah tangga diwajibkan membeli  seonggok daging yang sama banyaknya dengan harga sangat terjangkau, masing-masing dapat satu.  Dengan demikian semua orang didusun kami kebagian makan daging, makanan mewah itu.

Bagian kedua adalah bagian untuk dilelang.  Ini merupakan pertunjukan yang menarik melihat warga dusun yang berduit berlomba-lomba mendapatkan daging, jeroan, kaki, ekor bahkan kepala kerbau yang diinginkannya.  Biasanya pelelangan bagian kepala adalah yang paling seru.
   
Demikianlah, waktu itu kami jarang makan daging.  Tapi bila saat itu tiba, semua warga dusun menikmatinya, tidak ada yang gigit jari karena tidak mampu membeli daging yang harganya mahal.  Daging itu kami dapat dari peternak dusun kami atau dusun tetangga, tidak perlu impor dari Australia atau Amerika.  Daging itu sangat segar tiada cela, karena bapak-bapak kami sendiri yang menyembelih dan memotong-motongnya dan ibu-ibu kami memasaknya hari itu juga.  

Comments

Popular posts from this blog

Lampu togok dan lampu strongkeng

Kopi cap "Rangkiang", kue sangko & saudagar tembakau

TV Pertama Kami (bagian 3)